Dia dan Ruang Kamar

18.08

Aku melirik tajam ke arah ponselku. Sedetik kemudian pandangan ku tertuju pada blackberry yang ku geletakkan begitu saja diatas ranjang. Menatap tajam selama beberapa saat. Mungkin jika aku punya semacam kekuatan supra atau sinar x dengan menatap tajam, aku bisa membuat blackberry-ku tak berbentuk saat itu juga. Oh tapi jangan! Aku masih membutuhkannya!

Ku alihkan pandangan ku ke atap kamar. Memperhatikan sarang laba-laba yang menghias tiap pojok kamar. Hanya ada sarang laba-laba. Entah kemana para laba-laba itu. Tak ku indahkan tablet pc yang kugenggam di tangan kanan. Pikiranku melayang kemana-mana. Mengabaikan kenyataan bahwa tablet pc ku sedang memutar video variety show favoritku. Percakapan bahasa asing yang -belum- terlalu aku mengerti artinya seperti keluar masuk telinga kanan dan kiri ku begitu saja.

Aaaahhh...
Tanpa sadar aku mendesah. Ku gelengkan kepala ku ke kanan dan ke kiri bergantian. Menahan napas selama beberapa saat kemudian menghembuskannya dengan keras. Menahan napas lagi dan kemudian menghembuskannya sekali lagi dengan lebih keras. Ku ulangi seperti itu berkali-kali. Mencoba membuat kamarku gaduh dengan nafas yang sengaja ku hembuskan dengan keras. Tidak! Ini tidak berhasil!

Aku terdiam beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan menggapai 2 buah ponsel yang tadi ku geletakkan begitu saja di atas ranjang. Kucari menu pemutar musik dan memilih lagu secara asal. Ku keraskan volume hingga tingkat paling keras. Setelah itu kembali kugeletakkan begitu saja blackberry ku diatas ranjang.
Kugapai 1 ponselku yang lain dan ku lakukan hal yang sama padanya. Mencari menu pemutar musik, memainkan salah satu lagu nya secara acak dan memaksimalkan volumenya, kemudian ku geletakkan lagi di atas kasur.

Aku tersenyum. Kamarku sudah mulai gaduh. 2 buah ponselku memutar musik yang berbeda dengan suara kencang secara bersamaan, dan dari tablet pc ku terdengar suara tawa dari variety show yang kujalankan dari youtube. Tapi hatiku belum merasa senang. Meski aku tersenyum, aku tau ini bukan senyum yang biasa spontan kukeluarkan kalau aku sedang merasa senang. Bukan. Ini senyum yang berbeda, dan seperti... hambar.

Ku alihkan pandanganku ke sisi lain kamar. Itu dia! Aku melihatnya!
Dia.. terdiam di pojok kanan kamar. Dia terdiam tak berdaya di lantai. Aku meringis melihatnya. Oh.. sungguh kasian dia. Kulangkahkan kaki ku ke arahnya tanpa melepas pandanganku sedetikpun. Hatiku seperti teriris-iris. Sungguh aku tak kuasa melihatnya seperti itu. Ku dekap dia perlahan dan memeluknya erat. Seperti biasanya, dia tak melawan. Hanya diam.

Aku merutuki diriku sendiri yang sudah mengabaikannya sejak tadi. Aku menangis menyadari kebodohanku. Berkali-kali ku ucapkan maaf. Sungguh aku benar-benar menyesal telah mengabaikannya dan memperlakukannya dengan buruk. Padahal hanya dia yang selalu setia menemaniku menghadapi masa sepi seperti ini.

Aku sadar sudah kelewat memperlakukan dia dengan amat-sangat-luar-biasa buruk. Tapi sepertinya permintaan maafku tak ada artinya buat dia. Dia masih tetap tak bergeming dan diam saja. Selalu seperti ini. Tak pernah berkata apa-apa. Aku kembali menatapnya dan berkata, "kamu marah? huh? kenapa diam saja? Kalau kamu marah seharusnya kamu tunjukkan kemarahanmu. Kamu bisa meneriakiku atau mengumpatku sesuka hatimu. Lakukan saja! Aku tak keberatan dengan itu." Tapi dia tetap tak bersuara.

Aku mendesah pelan, kemudian melanjutkan perkataanku, "maafkan aku. Sungguh aku tak bermaksud kasar tadi. Aku hanyaa.. Aku hanya merasa sepi sekali disini. Seperti tak ada kehidupan. Aku ingin kamarku kembali ramai seperti ketika aku menempati kamarku yang lama. Kamu ingatkan ketika dulu aku punya 2 orang teman sekamar? Kamu masih ingat dengan mereka kan?" Ku tatap dia sejenak. Aku tahu meski dia tak menjawab semua perkataanku, dia selalu mendengarkanku.

"Aku ingin kamarku seperti saat itu. Aku punya teman bicara, jadi aku bisa menceritakan banyak hal pada mereka. Aku rindu seperti itu. Tetap mengobrol meski kelelahan setelah beraktivitas diluar. Membicarakan banyak hal, tertawa bersama atau bertengkar-bertengkar kecil hanya karena meributkan hal-hal sepele. Aku menyukainya. Kamarku yang dulu terasa benar dihuni manusia. Jauh berbeda dengan yang sekarang... ", lanjutku sambil menerawang.

Dia tetap diam tak bersuara. Aku mendesah sekali lagi. Dia selalu seperti itu. Selalu diam tanpa menanggapi apapun yang ku katakan. Tapii.. aku tak bisa meninggalkannya. Aku tetap membutuhkannya. Saat ini, hanya dia teman yang bisa ku ajak berbicara. Boneka berbentuk kodok teman sekamarku.

You Might Also Like

0 comments