Menapaki Merbabu #2

12.01

Ketika Menapaki Merbabu #1 usai, maka terbitlah Menapaki Merbabu #2 dengan cerita yang lebih panjang...


06 Mei 2016 - Day #2

Cahaya dalam tenda sudah sangat terang ketika aku membuka mata. Padahal temaram senter telah kami matikan semalam, saat beranjak tidur. Aku melirik jam di pergelangan tangan kiri. Ah... sudah pukul 06.05 rupanya!
Tanpa perlu repot-repot membuka tenda, aku sudah yakin bahwa matahari sudah terbit sedari tadi. Itu artinya aku gagal mendapatkan momen matahari terbit disini. Menyadari hal itu, aku kembali memejamkan mata setelah melirik keempat temanku yang sepertinya masih tertidur pulas. Semalam aku tak bisa tidur nyenyak. Jaket tebal dan sleeping bag yang kukenakan, rupanya masih belum ampuh menghangatkanku.

Selang beberapa saat, aku kembali terbangun saat mendengar suara kasak-kusuk. Rupanya keempat teman sekawanku ini sudah bangun. Obrolan-obrolan ringan dan gurauan pun kami lontarkan dengan mulut penuh aroma jigong, khas bangun tidur. Barangkali juga ada yang bercerita tentang mimpinya semalam. Entahlah. Yang aku ingat, mereka kemudian mulai riuh menyuruhku bangun untuk menyiapkan sarapan.

Tak ingin membuang waktu lebih lama, aku segera keluar tenda.
Kami harus bergegas agar dapat mencapai Puncak sebelum malam tiba. Rencana kami untuk hari kedua ini adalah melanjutkan perjalanan hingga ke Puncak Kenteng Songo, kemudian turun melalui jalur Selo dan mendirikan tenda di Sabana 2 untuk bermalam.

camping ground pos 2 jalur wekas
1 jam kemudian...

Nasi putih dan sayur sop masakan kami telah dilahap habis. Ditambah ikan sarden pemberian dari mas-mas tenda sebelah yang baik hati melengkapi menu sarapan kami. Sungguh sarapan yang mewah nan nikmat di gunung. Maka seusai sarapan, kami segera beranjak untuk sikat gigi dan membasuh muka. Dinginnya air yang mengalir dari dua buah pipa di Pos 2 menjadi rebutan kami bersama penghuni camping ground lainnya. Hanya dua buah aliran pipa kecil, namun sangat kami syukuri. Sumber air yang terbatas, namun dapat kami gunakan untuk membersihkan peralatan makan, menyikat gigi, mencuci wajah serta mengisi ulang botol-botol minum kami yang telah kosong.

sesaat kami bersiap membongkar tenda dan merapikan segala macam barang yang harus kami packing kembali
Meski hari telah beranjak siang, kabut rupanya masih sesekali datang menutupi Merbabu yang sedang unyu-unyu hijau-hijaunya. Panasnya matahari, biasanya tak begitu terasa menyengat ketika kita sedang di gunung. Tau-tau saat pulang ke rumah, wajah sudah gosong terpapar matahari :)))


Setelah merapikan barang bawaan, Wawan pun memimpin kami berdoa sebelum melanjutkan perjalanan kembali dengan semangat yang lebih menggebu. Aku melirik jarum jam yang menunjukkan tepat pada angka 11. Didepan kami jalanan menanjak yang licin dan berbatu siap menyapa kami. 


Matahari semakin terik menemani pendakian kami. Mendaki saat siang hari membuat kami lebih mudah merasa haus dibandingkan saat malam hari. Namun hijaunya rerumputan dan pohon yang tumbuh di kanan-kiri jalan, menyegarkan mata kami. Pun kami begitu dimanjakan dengan udara yang segar, bebas dari polusi kendaraan atau asap pabrik.

Berbekal peta yang kami dapat dari pos perijinan, kami berempat (aku, Wawan, Fean & Jhon) pun tiba di Pos Watu Kumpul. Pos ini berada diantara Pos 2 dan Pos 3 jalur Wekas. Bram rupanya sudah berjalan jauh didepan kami. Barangkali dia menunggu kedatangan kami di Pos 3. Maka setelah menjalankan Sholat Dhuhur - Ashar (jama'), dan sekedar ngemil lucu, kami berempat bergegas menuju Pos 3 menyusul Bram. 



Jalur dari Pos Watu Kumpul ke Pos 3 ternyata relatif lebih susah dibanding Pos 2 - Watu Kumpul. Trecking-nya lebih menanjak dan menantang. Tak jarang aku berhenti sejenak memandang jalanan di depan mata. Mencari jalur atau cara bagaimana melewatinya. Hingga akhirnya setelah memanjat-manjat bebatuan, mirip kayak wall climbing, kami sampai di Pos 3.

Tak seperti Pos 2 yang merupakan tanah lapang, Pos 3 dipenuhi dengan batu-batu besar. Itulah sebabnya Pos 3 tidak bisa digunakan untuk bermalam. Salah satu pilihan untuk bermalam disekitar Pos 3 adalah Puncak Helipad yang ada di sebelah kiri, dengan melewati 1x tanjakan dari Pos 3. Tapi mengingat tidak adanya pepohonan di Puncak Helipad, maka jangan kaget kalau angin dan hawa dingin lebih terasa maksyeng dibanding di Pos 2 yang banyak ditumbuhi pepohonan besar.

melongok watu tulis dari Pos 3
Jika kita longokkan kepala ke bawah, dari Pos 3 kita bisa melihat Watu Tulis. Katanya, disebut Watu Tulis karena kita bisa menuliskan nama kita atau nama seseorang dengan batu-batu kecil disana. Tak sedikit yang menuliskan nama orang yang disayang disana.

Setelah bertemu kembali dengan Bram, berfoto-foto serta makan siang mie instan yang kami masak, kami segera bersiap melanjutkan perjalanan. Tepat pada saat kami bersiap, hujan tiba-tiba turun. Ada dilema antara segera mengenakan jas hujan kemudian melanjutkan ke Puncak Kenteng Songo, atau berhenti terlebih dahulu disana dan mendirikan tenda untuk berteduh. Namun karena kami tidak bisa menemukan tempat untuk mendirikan tenda, kami pun sepakat untuk tetap bergegas melanjutkan perjalanan ke Puncak Kenteng Songo dengan harapan hujan segera reda.

dari Pos 3 wekas menuju arah puncak kenteng songo
Bersyukur setelah beberapa langkah kami berjalan, hujan pun reda. Lega rasanya. Namun karena khawatir hujan kembali turun sewaktu-waktu, maka jas hujan tak kami lepas. Kami tetap berjalan berurutan melewati jalan bebatuan yang menanjak dan licin terkena air hujan. Berpapasan dengan pendaki lain yang juga akan naik ke Puncak, atau turun dari Puncak.

".....bisa kok Mas dari sini ke Puncak Kenteng Songo tanpa lewat jalur Setan", ucap mas-mas yang kami temui di jalan.
"Wuih! Serius, Mas? Lewat mana?", sahutku antusias.
"Nanti dari jalan ini ada percabangan ke kanan. Ambil kanan aja. Tadi kami lewat sana. Nanti lewat jalurnya lebih landai dan ada jalanan turunnya. Lebih mudah meski agak memutar. Kalo yang jalur lurus itu lewat jalur setan.....".
Wow!!!

Dengan penuh antusias, kami berlima meminta 3 orang mas-mas yang kami temui di jalan itu untuk menjelaskan lebih detail mengenai jalur alternatif tersebut. Sesungguhnya, kami belum pernah mendengar tentang jalur alternatif ini dari teman-teman yang sudah mendaki Merbabu via Wekas, atau dari artikel-artikel yang kami baca di internet. Tapi kami percaya saja pada mas-mas ini. Rasanya mereka nggak akan iseng membohongi kami. Lagian toh apa untungnya sih ngebohongi orang ditengah gunung gini?

Maka setelah kami rasa informasi yang kami butuhkan sudah cukup lengkap, dengan penuh semangat kami melanjutkan perjalanan. Bisa menghindari jalur setan yang "menyeramkan" tentu saja membuat aku bahagia bukan kepalang. 
tetep narsiss - di pos 3 via Wekas
Tak jauh dari tempat kami bertemu dengan 3 mas-mas tadi, kami melihat ada jalan percabangan di depan. Tepat dengan jalur kecil di sebelah kanan percabangan tersebut. Maka tanpa berpikir panjang lagi, kami menuju jalur tersebut dengan penuh suka cita.

Awalnya kami harus berjalan melalui jalur turun, tepat seperti informasi yang kami dapat dari mas-mas tadi. Jalur yang licin, sempit dan terjal membuat kami saling membahu untuk membantu setiap teman yang akan turun. Bram kami beri posisi di depan untuk menjadi penunjuk jalan dan mengingatkan kami untuk tetap berhati-hati.

Usai jalur menurun, kami melihat ada sumber air dan kawah belerang. Aroma belerang semakin meyakinkan kami bahwa jalur yang kami ambil adalah benar. Tepat seperti yang kami dengar dari mas-mas tadi.

Melewati kawah belerang, kami melanjutkan ke jalur setapak yang landai di tengah rimbunnya semak belukar di sisi kanan, dan jurang di sisi kiri. Benar-benar jalur setapak yang hanya bisa dilalui oleh satu orang. Itu pun kami harus sangat berhati-hati dan lebih melipir ke kanan agar tidak terpelesat ke jurang.

1 jam berjalan, kami mulai merasa ada yang aneh.
Kami seperti bukan berjalan menuju ke Puncak, tapi malah menjauh. Logika kami mulai berbicara. Jika tujuan kami adalah puncak, maka seharusnya kami melewati jalanan yang menanjak. Pun dari info mas-mas tadi, kita akan melalui jalur menanjak setelah jalur landai. Tapi bahkan setelah 1 jam kami berjalan, kami hanya melalui jalur landai terus menerus dengan arah jalan ke kanan. Bukan jalur menanjak dengan arah ke kiri, karena puncak yang kami tuju berada disebelah kiri kami.

Sebentar-sebentar aku melirik jam tangan yang ada dipergelangan kiri. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, hari akan semakin gelap dan gerimis masih sesekali turun mengiringi perjalanan kami. Kami masih berada di tengah hutan antah berantah, tanpa tau akan menuju kemana dan seberapa jauh. Beberapa luka goresan di tangan dari gesekan tumbuhan berduri di semak belukar sebelah kanan semakin bertambah banyak. Sambil terus berjalan di tengah barisan kelompok, aku menahan perih. Tak perlu teman-teman yang lain tau perihal luka kecil ini, ditengah kecemasan kami.

Kami berada di tingkat darurat level 3/5. Hari sudah semakin gelap dan kami tersesat entah dimana. Perlengkapan logistik dan tenda kami memang lengkap. Tapi dalam kondisi jalur setapak yang hanya bisa dilalui satu orang ini, jelas tak mungkin bagi kami mendirikan tenda disini, seumpama kami benar-benar tersesat hingga malam tiba. Pun jika kami kelaparan, mengeluarkan kompor dan memasak perbekalan kami, menjadi satu hal yang sangat sulit dilakukan. Belum lagi ancaman udara dingin dan hujan yang sewaktu-waktu bisa turun. Tak menutup kemungkinan kami akan kedinginan dan terkena hypothermia di tengah hutan. Kemudian esok harinya berita 5 orang hilang di Gunung Merbabu akan menjadi headline pemberitaan media. No!!!

*****

Dari kejauhan kami melihat ada pendaki lain yang tengah beristirahat. Sangat jauh dan dipisahkan jurang yang lebar (kenapa ada jurang dimana-mana sih? *iyalah namanya juga di gunung* *oke abaikan*). Kami berada di sisi kiri gunung, dan para pendaki yang kami lihat dari kejauhan itu berada di sisi kanan gunung. Tak ada cara lain selain berteriak untuk memanggil mereka dengan sepenuh tenaga.

"Mas... puncak kenteng songo sebelah mana?", teriak Bram.
"Disana mas...", jawab mereka sambil menunjuk arah atas mereka.
Waduh jauh dari posisi kami saat ini!
"Mas... itu posisi kalian sekarang dimana yaa?", kali ini giliran aku yang berteriak.
"Mau ke pos tigaaaaaaaa..."
Nah loh!
"Dari jalur mana?", teriakku lagi. Hatiku semakin tak karuan.
"Jalur Wekassssssss.....". Entah kenapa suara mas-mas di ujung sana terdengar sangat menggema di telingaku. Jalur wekas. Menuju pos 3. Itu artinya jalur yang sudah kami lewati pagi tadi. Jangan-jangan....
"Kalian salah jalan. Balik aja ke jalan yang sebelumnyaaaa...". teriak mereka kembali. Mencoba membantu kami mencari jalan keluar.

Kembali ke jalur sebelumnya? Woowww... sepertinya itu pilihan yang sangat susah!
Jika kami kembali ke jalur tadi, kami akan kembali melalui jalur setapak yang menyusahkan dan menakutkan. Pun karena titik awal jalur itu sudah sangat jauh dari posisi kami berdiri saat ini, maka bisa dipastikan, kami akan kemalaman di tengah hutan.

Melanjutkan perjalanan kami pun sebenarnya bukan pilihan yang mudah. Kami tak tau kemana jalan ini akan berujung dan seberapa jauh. Selama melalui jalanan setapak ini, kami hanya mengikuti pipa air yang kami lihat diantara semak-semak, dan kami yakini akan membawa kami setidaknya keluar dari jalur ini. Maka tetap pada keyakinan kami sebelumnya, kami tetap melanjutkan perjalanan dengan mengikuti pipa air tersebut. Sambil terus berdoa dalam hati agar kami dapat keluar dari jalur sesat ini dengan selamat.

Sepertinya doa kami, atau sepertinya lebih mungkin dari doa orang-orang yang sayang kami, yang mendoakan kami selamat pada setiap perjalanan, akhirnya kami menemukan titik terang.

papan pos watu kumpul yang diambil pada pagi harinya
Benar ini bukan puncak. Tapi kami berhasil keluar dari jalur berbahaya, yang kemudian kami sebut dengan jalur iblis, tersebut. Kami kembali ke tempat yang setidaknya kami tau, itu jalur yang benar dan tidak ilegal.

Kami saling memandang, dan tergelak bersama ditengah kepayahan kami. Kami menertawakan kebodohan dan kecerobohan kami. Benar dugaanku. Keluar dari jalur iblis, kami ternyata kembali ke Pos Watu Kumpul yang letaknya berada di antara Pos 2 dan Pos 3. Barangkali jalur percabangan yang dimaksud sama mas-mas tadi, bukan jalur yang kami lalui ini. Mungkin ternyata ada jalur percabangan yang lain yang benar.

Sambil memandang senja yang mulai menghilang dari kejauhan, kami terduduk dan bersyukur dapat keluar dari jalur "maut" tersebut sebelum gelap dengan selamat. Meski badan kami benar-benar merasa lelah dan payah setelahnya. Senja sore ini adalah salah satu senja terindah bagi kami.
senja diantara gunung sindoro-sumbing dari pos watu kumpul merbabu
Bram yang sepanjang perjalanan jalur iblis memimpin kami, tiba-tiba sakit. Badannya panas dan lemas. Tak ada pilihan lain bagi kami. Kami memutuskan untuk mendirikan tenda dan bermalam di Pos Watu Kumpul hari ini. Puncak belum dapat kami raih. Dan barangkali tak dapat kami raih jika esok hari keadaan Bram belum membaik.

You Might Also Like

0 comments