Menapaki Merbabu #3

21.43


07 Mei 2016 - Day #3

Jarum jam telah menunjuk angka 4 dini hari. Lelah dan letih di badan belum juga hilang, tapi kami harus segera bangun dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Semalam setelah kami menyantap makan malam dan menyeduh kopi untuk menghangatkan badan diudara yang dingin, kami segera bersiap tidur. Tak peduli jarum jam masih menunjukkan pukul 9 sekalipun.

Kondisi Bram sedikit lebih baik pagi ini. Meski tak lagi setegar sebelumnya, namun masih cukup kuat untuk melanjutkan perjalanan. Maka setelah sarapan dan membereskan perlengkapan, tepat pada pukul 07:07 WIB, kami pun bergerak melangkahkan kaki. Kembali menempuh jalan mendaki yang telah kami tapaki kemarin untuk menuju Pos 3. Mendaki gunung ini seperti menjalani hidup ya. Tak selalu seperti yang dikehendaki. Bahkan sesekali perlu menempuh jalan yang sama demi mencapai tujuan.


Sampai di Pos 3, ibaratnya tak ingin jatuh di lubang yang sama, kami pun memutuskan untuk menempuh jalan yang benar menuju Puncak Kenteng Songo. Mengikuti jalur resmi dan melewati Jalur Setan yang kemarin sengaja dihindari dengan penuh drama. Sesekali di jalan kami berpapasan dan saling menyapa dengan pendaki lain yang turun gunung.

Hati kami yang teguh dan berbunga-bunga, semakin berkembang menyaksikan hamparan hijau di Gunung Merbabu ini. Membahagiakan sekali.



******************************

"itu... jalur setan!"

Aku terperangah. Jalur Setan. Setelah menempuh perjalanan selama 2 jam 49 menit, akhirnya kami tiba juga di Jalur Setan. Jalur yang kemarin mati-matian kami hindari. Aku menatap nanar. Berkunang-kunang...

Sejujurnya, aku tak yakin mampu melewati jalur itu. Seumur-umur tak pernah sekalipun aku ikut wall climbing. Pun aku juga tak cukup baik dalam keseimbangan. Menggendong tas keril besar nan berat dengan melalui jalan terjal yang hanya cukup dilalui oleh satu orang dengan harus melipir ke tebing, rasanya sungguh mengerikan. Membayangkannya saja aku sudah lemas.

Beruntung, karena ternyata di jalur itu ada seutas tali yang bisa dimanfaatkan untuk mengerek tas dari atas kebawah, seperti mengerek air dari sumur. Dengan dibantu Wawan dan Jhon yang sudah melewati jalur setan terlebih dahulu, aku dan Fean mengikat tas keril kami untuk dibawa naik.

"Jasa nariknya satu tas lima ribu...", teriak mereka. Aku hanya tersenyum masam menanggapi candaan tersebut. Dengan tanpa membawa tas keril, aku sedikit lebih pede melewati Jalur Setan. Bismillah. Aku berjalan melipir tepat dibelakang Fean. Di seberang Jalur Setan, ada Wawan yang siap menunggu dan membantu kami. 

"Kakimu injakkan kesini. Cari pegangan yang kuat. Jangan injak batu yang ini..."

Dengan penuh kehati-hatian dan hati yang tak henti merapal doa, aku berjalan perlahan. Jurang di sebelah kiri memang tidak begitu dalam. Tapi jika tergelincir dan jatuh berguling-guling, tetap saja bakal sakit kan.
jalur setan
Huft!

Aku menghembuskan napas lega. Jalur setan yang mengerikan berhasil aku lewati. Nyatanya meski tak cukup panjang, namun tetap saja bikin dag-dig-dug tak karuan. Belum normal detak jantungku, ternyata di depan kami masih harus memanjat batu tebing. Oke tak apa! Yang penting jalur setan sudah terlewati.

Namun rupanya benar. Jadi orang itu nggak boleh sombong, Terlebih saat naik gunung gini.
Jalur setan tadi ternyata bukan satu-satunya jalur "mematikan" yang harus dilewati. Di depan sana masih ada jalur setan part 2 yang tak kalah berbahaya.

Berbeda dengan jalur setan pertama yang nyaris datar dan sempit, pada jalur setan yang kedua ini menanjak dan licin. Nyaris lebih susah dibanding jalur setan pertama. Terlebih pada jalur ini aku melewatinya dengan tetap menggendong tas keril. Beratnya membuat bahu seperti tertarik ke belakang.

Selama beberapa saat aku sempat terdiam di tengah-tengah jalur. Bimbang mencari cara dan jalan yang lebih mudah untuk dilewati. Di depanku, hanya ada dua utas tali dan akar sebatang pohon yang bisa dijadikan pegangan pada jalan menanjak dan licin tersebut. Saat melihatku yang tengah ragu, teman-teman sebenarnya sudah menawarkan bantuan untuk membawakan tas kerilku dan menarik tanganku. Bahkan beberapa pendaki lain yang juga ada disana, turut menawarkan bantuan. Hanya saja, aku keukeuh untuk tetap membawa sendiri tasku. Tak ada maksud untuk sombong dan menolak bantuan. Nyatanya, saat itu aku berdiri di tempat yang tidak memungkinkanku untuk banyak bergerak. Tanah yang bisa aku pijak, hanya muat menampung dua telapak kaki tanpa ada celah lagi untuk bergeser. Kembali turun ke bawah pun sama saja, nyaris susah mencari pijakan yang luas tanpa kuatir terpeleset.

Akhirnya setelah memantapkan hati dan menahan diri agar tidak menangis, aku menarik salah satu tali yang bisa aku gapai. Hanya fokus pada pijakan dan pegangan yang kuat, aku merangkak naik perlahan. Ada banyak tangan yang siap diulurkan untuk membantu. Diantara haru akan kebaikan hati orang-orang dan tatapan doa, aku merutuki diri yang cemen ini.

jalur setan 2
Jalur setan sudah dilewati. Namun bukan berarti jalanan didepan menjadi lebih mudah. Karena ternyata tanjakan demi tanjakan menunggu kami dengan senyum sumringah. Ditambah perut keroncongan dibawah matahari yang semakin terik, perjuangan ini seperti perjuangan mencari kitab suci.


***************
“In a way fighting was just like using magic. You said the words, and they altered the universe. By merely speaking you could create damage and pain, cause tears to fall, drive people away, make yourself feel better, make your life worse.” ― Lev Grossman, The Magicians

Sekitar pukul 11 siang kami tiba di Puncak Kenteng Songo. Yeay! Finally, we did it!
Setelah semua perjuangan dan drama panjang, akhirnya kami benar-benar menginjakkan kaki di Puncak Kenteng Songo. Meski sayangnya, kabut datang tak berkompromi dengan kami. Pemandangan indah tak bisa kami saksikan dari Puncak Kenteng Songo. Sedikit kecewa namun tak ada yang bisa diperbuat.

full team
Puncak Kenteng Songo. Puncak tertinggi diantara 7 Puncak Gunung Merbabu, dengan ketinggian 3142 Mdpl ini punya cerita mistis yang terkenal. Jika dilihat dengan mata biasa, watu kenteng (batu berlubang) yang ada di Puncak ini hanya akan terlihat 4 buah. Namun katanya jika punya keahlian khusus, bisa melihat watu kenteng ini ada 9. Katanya, disinilah tempat terjadinya aktifitas makhluk ghaib di Gunung Merbabu. Seperti layaknya cerita mistis di gunung lain, seperti Pasar Bubrah di Gunung Merapi, Pasar Setan di Gunung Lawu, dan lainnya.

watu kenteng
Puas makan siang dan foto-foto heboh dengan background kabut tebal sembari membawa papan tulisan Puncak Kentang Songo dan notes-notes pesan cinta kekinian, kami memutuskan segera turun lewat jalur Selo. Libur panjang membuat gunung ini serasa pasar. Padat manusia dimana-mana.
Bahkan tak ketinggalan, kami juga ketemu sama abang gojek yang hendak naik ke Puncak Kenteng Songo.

"Bang...foto donggg"
"Bang.... bawa pizza nggak?"
eaaaaaaa.....



Dari kabar-kabar yang kami dengar, jalur Selo relatif lebih mudah dibanding jalur Wekas. Karenanya aku pikir everything will be easier once saat kami turun gunung lewat jalur itu, tak banyak jalur yang curam dan menyeramkan. Maka dengan hati riang karena tak sabar ingin segera sampai di padang savana, meski lelah aku tetap semangat melanjutkan perjalanan.

Tak ada naik gunung, juga turun gunung, yang mudah...

Jalur Selo juga hampir sama saja ternyata dengan jalur Wekas. Menanjak, licin dan kalau jatuh terguling-guling bisa bikin badan sakit nggak karuan. 




Tepat pukul 13:23, kami tiba di Padang Savana 2 Gunung Merbabu.

sholat tetap tak boleh ditinggal
Hamparan padang rumput yang hijau di Padang Savana membuat kami betah. Lelah yang kami rasakan sebelumnya, terbayar tuntas dengan pemandangan yang seindah ini.
Jika saja kemarin kami tidak "nyasar" di jalur iblis, seharusnya semalam kami mendirikan tenda disini dan menikmati malam bertabur bintang beralaskan rumput. Ahtapi yasudahlah...




Berkejar-kejaran dengan waktu, membuat kami tak bisa berlama-lama disana. Kami harus segera turun mengingat kondisi Bram yang kurang sehat. Ditambah lagi, Wawan mengalami cidera di kaki kanannya. Usai istirahat sebentar, berfoto-foto sambil lari-larian ala film india dan menuntaskan segala kewajiban, kami beranjak turun. Sampai di pos dua, kami bertemu dengan adek bayi yang lucu...

Kagum nggak sih kalau ada ibu-ibu yang ngajak bayinya naik gunung gini?
Aku sih kagum. Meski dalam kasus ini mereka bukan berniat mendaki sampai Puncak, melainkan hanya sampai Pos 3. Tapi kan tetap aja penuh perjuangan...


**************

Dari Pos perijinan Selo, kami bersama beberapa orang rombonga dari Jakarta, naik bus mini sewaan menuju Terminal Boyolali. Jarak yang ditempuh dalam waktu lebih dari 1 jam, membuat kami tertidur kelelahan di sepanjang jalan hingga sampai di Terminal Boyolali.

Sampai di Terminal Boyolali, kami bergantian mandi dan sholat. Barang bawaan dalam tas keril pun kami bongkar dan tata ulang agar tak perlu repot mencari barang sewaan yang harus segera dikembalikan.

Kami sudah siap naik bis malam Boyolali - Surabaya, sampai sejurus kemudian kami sadar bahwa semua uang yang kami pegang tak cukup untuk membayar ongkos bis berlima.

1 lagi kesalahan kami, masing-masing tidak membawa cash yang cukup sampai pulang. Kami terlalu mengandalkan uang di Debit Card masing-masing dan cash pegangan teman.

"Kata orang-orang disini, ATM nya ada Kota. Di Mal...". Oh Jhon! Sungguh ini bukan kabar baik.

Jarak dari terminal ke kota, cukup jauh. dan lagi, pukul 11 malam mana ada mal yang masih buka?

Beruntung tak jauh dari terminal, ada minimarket yang melayani pembayaran menggunakan Debit Card. Oke kalau gitu bisa minta mas-masnya buat tarik tunai di kasir sambil beli sedikit cemilan. Maka dengan penuh harapan, aku dan Fean menyusuri tepi jalan sambil melawan dinginnya udara malam.

"Kami baru saja closing dan kirim laporan mbak. Transaksi pakai debit card-nya baru bisa jam satu yaa..."

Waduh!

Menunggu dua jam di emperan terminal dengan kondisi badan yang kurang sehat, bukanlah ide yang baik. Kami putuskan kembali ke terminal dengan keadaan gundah gulana.

Akhirnya setelah berunding dan membicarakan berbagai kemungkinan terburuknya, kami putuskan untuk menggunakan jasa tukang ojek ke kota guna mencari ATM. Udara malam yang mulai bikin punggung ngilu, tak aku hiraukan. Aku harus segera ke ATM, tarik tunai dan pulang ke Surabaya,

Beruntung, diantara sekian banyak drama yang kami alami dari berangkat hingga menjelang pulang, satu persatu dapat kami lalui. Bisa ketemu ATM di tengah Kota Boyolali (btw, yang benar itu kabupaten kan?; red) rasanya kayak pingin peluk aja gitu. Bahagia banget! Duh.... Makasih ya Allah.

Dengan ini kami bisa pulang ke Surabaya.
Dengan ini kami batal jadi gelandangan Boyolali.

Horeeeyyy!
Perjalanan Menapaki Merbabu pun usai. Segala drama yang kami alami, mengajarkan kami banyak hal. Kalau kayak gini nggak bikin kapok jalan-jalan kan? :)))

Sampai ketemu lagi perjalanan berikutnya! ^^

You Might Also Like

0 comments