Surat Untuk Dwangga

21.01

kurang huruf "N" ternyataaa >.<

Hai Dwangga! 
Lama kiranya kita tak bersua. Apa kabarmu disana? 
Seperti halnya ibumu yang tak pernah putus doa, aku pun selalu mengirimkan doa untuk kebahagiaanmu disana.

Dwangga Adrirama,
Sahabat terbaik dan terhebat sepanjang masa. Sudahkah aku berterima kasih padamu telah hadir dalam hidupku? Ah tidak! Rasanya tidak pernah. Mengingat aku selalu berpikir bahwa taakan pernah cukup hanya dengan berterima kasih padamu. Aku harus berterima kasih juga pada kedua orang tuamu yang telah mendidikmu menjadi lelaki penuh kehangatan dan kasih sayang.

Dwangga sahabatku,
Semilir rindu itu masih selalu datang menghampiriku setiap saat. Bahkan ketika kau sedang duduk disampingku sembari menatap senja dengan senyum mengembang, aku masih merindukanmu. Tak jarang rindu itu membuat sesak dan tercekik. Dapatkah aku berangan-angan saat usiaku mulai lanjut, aku melepas nyawa dalam kondisi merindukanmu yang sedang memelukku?

Dwangga cintaku,
Iya cintaku. Taukah kau bahwa aku diam-diam mencintaimu? Ah tidak! Aku bukan diam-diam mencintaimu. Bukan! Aku mencintaimu dalam diam. Mencintai kamu yang terlanjur menanggapku sebagai sahabat. Persetan dengan persahabatan itu! Tidak bisakah kita menjadi sepasang kekasih saja?

Ingat tidak ketika kita melakukan perjalanan ke Solo dan ibu yang memberi tumpangan pada kita berkata, “Mbak, pacarnya ganteng dan baik. Cocok sama mbak…”?
Bahkan ketika si ibu melanjutkan perkataannya, “semoga kalian langgeng yaa…” kamu merespon dengan senyum malu-malu. Aku bertanya-tanya, kenapa kamu tidak mencoba untuk menyangkalnya dan mengatakan bahwa kita hanya bersahabat? Kamu membuat aku terlena dalam buaian palsu.

Tapi tunggu! Bukankah itu artinya kita memang layak menjadi kekasih? Lihat! Bahkan orang diseluruh penjuru dunia pun menganggap bahwa kita adalah pasangan! Lalu kenapa kita tidak menjadi pasangan saja seperti yang orang lain pikir?

Dwangga yang menarik tapi tidak tampan,
Taukah kamu persahabatan ini merupakan anugrah yang menyiksa? Disaat aku merasa beruntung dan berterima kasih karena kedekatan kita, perasaan tersiksa itupun mengiringi.

Ada saat dimana perasaan dilema itu muncul. Ingin kuteriakkan saja didepanmu perasaanku, ketika aku merasa sudah terlalu lelah memendam. Tapi sebelum bibirku terbuka, otakku mengirimkan sinyal akan kemungkinan retaknya persahabatan kita. 

Dalam lubuk hati, ada ketakutan akan kehilanganmu. Aku tidak siap dengan resiko buruknya. Lebih baik melihatmu dekat dengan gadis-gadis  genit itu daripada harus kehilangan moment berharga kebersamaaan kita.

Rasanya aku tak cukup egois untuk memutuskan persahabatan kita demi perasaan sepihakku. Kamu beruntung bukan dianugrahi sahabat seperti aku? Atau... aku yang sebenarnya bodoh karena lebih memilih menjaga persahabatan kita?

You Might Also Like

0 comments